Tampilkan postingan dengan label seputar ilmu fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seputar ilmu fiqih. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Desember 2021

APA ITU NAJIS ??? BAGAIMANA CARA MENGHILANGKAN DAN MENSUCIKANNYA ? | GURU NGAJI SURABAYA | LBB PPNAS

www.gurungajisurabaya.com


Tentang beberapa macam najis dan cara menghilangkannya

Kata najis menurut tinjauan dari segi bahasa ialah sesuatu yang menjijikkan. sedangkan menurut tinjauan syara' najis ialah setiap benda yang haram memperolehnya (baik dimakan atau diminum) secara mutlaq (baik sedikit atau banyak) pada keadaan leluasa serta mudah untuk membedakannya, halmana telah diharamkan diperoleh, bukan karena terhormatnya, juga bukan karena menjijikkannya dan bukan pula lantaran bahayanya benda tersebut, terhadap tubuh manusia atau akal pikiran.


Termasuk didalam kata-kata mutlaq, ''ialah najis yang cuma sedikit dan juga najis yang banyak". sedang kata-kata ''leluasa" mengecualikam keadaan darurat (situasi yang memaksa). Sebab dalam keadaan yang darurat diperbolehkan memperoleh benda yang najis. Dan kata-kata "Dengan mudah membedakan", mengecualikan setiap ulat (yang kecil-kecil) yang sudah mati yang biasa terdapat didalam keju atau didalam buah-buahandan sebagainya.


Baca juga : MENGENAL RUKUN ISLAM


Kata-kata mushonnif "bukan karena terhormatnya benda", itu mengecualikan bangkai anak Adam (manusia).Sedang kata-kata "bukan karena menjijikkan" itu mengecualikan air mani dan yang sepadan dengannya. Dan kata-kata " bukan karena bahayanya", itu mengecualiakan batu dan tumbuh-tumbuhan yang bahaya bagi kesehatan tubuk dan akal pikiran. Kemudian mushonnif mengemukakan definisi pengertian najis yang keluar dari jalan muka  (yang biasa dilewati air kencing atau buang air kecil) dan jalan belakang (yang biasa dilewati kotoran atau buang air besar), dengan ucapannya : Setiap benda cair yang keluar dari dua jalan tersebut, hukumnya najis. Benda itu bisa berupa benda yang biasa keluar seperti air kencing (kotoran yang keluar dari depan buang air kecil) dan tahi (kotoran yang keluar dari belakang buang air besar) dan juga bisa berupa benda yang langka keluar dari dua jalan tersebut, yaitu seperti darah dan nanah.

Seiap benda cair yang keluar dari dua jalan tersebut maka dijatuhi sudah masuk najis kecuali mani, baik mani itu keluar dari anak Adam (manusia) atau dari binatang selain anjing dan celeng (babi) dan binatang yang lahir dari kedua binatang tersebut, atau yang lahir dari salah satu dari keduanya (setelah bersetubuh) dengan binatang yang suci. dan kata-kata "benda cair" itu berarti mengecualiakan ulat-ulat yang kecil (kermi) dan juga mengecualikan semua benda keras yang tidak bisa berubah keadaannya oleh reaksi pencernaan makan. Jadi hal ini bukan benda yang najis, tetapi benda yang kena naji hal mana bisa suci sebab dibasuh (dicuci).


Pada sebagian redaksi kitab lain, menggunakan kata-kata yang berbentuk kata kerja mudhari' (bukan fi'il madhi), berbunyi : "Setiap benda yang keluar", kata-kata "Yang cair", juga ditiadakan.

Adapun mencuci semua yang terkena air kencing dan kotoran buang air besar, walaupun kedua perkara tersebut keluar dari binatang yang halal dimakan dagingnya, Hukumnya Wajib.

Cara mensucikannya dari najis apabila najisnya bisa diketahui oleh mata (bisa diketahui oleh panca indera), yaitu najis yang biasa disebut "Najis Ainiyah" adalah dengan menghilangkan keberadaannya itu sendiri, dan berusaha menghilangkan sifat-sifatnya benda, yaitu rasanya, warnanya, maupun baunya. Maka apabila rasa najis itu masih tetap ada, hukumnya benda itu masih tetap najis. atau warna , atau bau benda najis tersebut masih tetap ada, hal mana sukar dihilangkan, maka tidak dianggap najis (hal itu sudah suci). Dan apabila najis tersebut tidak bisa dilihat (Diraba atau ditangkap panca indera), yaitu yang biasa disebut "Najis Hukmiyah" maka cukup mengalirkan air pada benda yang kena najis tersebut, walaupun hanya satu kali saja.


Kemudia penyusun kitab ini memberikan pengecualian  pada masalah "air kencing", dalam kata ucapan beliau : "Kecuali air kencing seorang bayi laki-laki yang belum suka makan-makanan". Maksudnya ialah seorang bayi laki-laki yang belum pernah memperoleh makanan, hal mana dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan hidup, maka sesungguhnya benda yang terkena air kencing bayi tersebut, bisa suci dengan menyiramkan air pada benda tersebut. dan didalam hal menyiram itu, tidak diisyaratkan harus mengalir. Jika seorang bayi tersebut sudah mulai makan-makanan, hal mana dimaksudkan untuk mendapatkan kekuatan, maka hukum benda yang terkena air kencingnya, maka Wajib dibasuh (Dicuci) secara pasti (tidak ada perselisihan antar fuqoha'). Terkecuali bayi laki-laki, yaitu bayi perempuan dan bayi banci (memiliki dua alat kelamin) maka benda yang terkena air kencing mereka, harus dicuci (sampai bersih).


Baca juga : ADAB KETIKA BERDOA

Didalam cara membasuh benda yang terkena najis itu, diisyaratkan airnya harus didatangkan (dituangkan)  pada benda yang terkena najis tersebut, jika air itu cuma sedikit. Maka apabila terbalik (air tidak dituangkan misalnya, tetapi benda yang kena najis dimasukkan kedalam wadah air tersebut), hukumnya benda yang terkena najis tersebut, belum dianggap suci.


Adapun dalam hal air yang banyak (Dua kulah keatas), maka tidak ada perbedaan antara benda yang terkena najis tersebut, didatangkan (dimasukkan kedalam air) atau didatangi air ( Air yang dituangkan pada benda yang terkena najis tersebut) dan tidak bisa diampuni (dimaklumi), tentang najis yang cuma sedikit ; kecuali sekelumit dari darah dan nanah. Maka kedua-duanya dalam hal mengenai pada pakaian atau pada tubuh, bisa diampuni ; dan sholat dalam keadaan terkena darah dan nanah tersebut, maka hukumnya dianggap sah. dan terkecuali pula, hewan yang padanya terdapat darah yang mengalir : yaitu seperti lalat dan semut, ketika lalat atau semut itu terjatuh didalam sebuah wadah, dan ia pun mati disitu, maka ia tidak bisa menjadikan najis apa yang terdapat didalam wadah tersebut.


Pada sebagian redaksi kitab lain, terdapat keterangan "Ketika hewan tersebut mati" (Jadi tidak menggunakan kata "jatuh") Dan kata-kata mushonnif : "Terjatuh dengan sendirinya", itu mengandung pengertian, "Termasuk hewan yang tidak mempunyai darah yang mengalir, yang dengan sengaja dimasukkan ke dalam benda cair". Keterangan ini menurut apa yang telah ditetapkan dan di tegaskan oleh Imam Rofi'i didalam kitab Syarah As-Shoghir. Dan Imam Rofi'i tidak menyinggung-nyinggung masalah ini didalam kitab Syarah Al-Kabir.


Apabila ada bangkai hewan yang tidak mempunyai darah yang mengalir,dalam julah yang cukup banyak, telah merubah keadaan benda (air) dimana hewan-hewan tersebut jatuh disitu (Didalam benda tersebut), Maka bangkai hewan-hewan tersebut bisa menyebabkan najisnya benda tersebut.


Adapun apabila bangkai ini muncul dari benda yang cair, misalnya sindatnya cukak dan buah-buahan maka bangkai itu, tidak bisa menyebabkan najisnya benda cair tersebut secara pasti (Tidak diperselisihkan lagi oleh para Ulama' Fiqih). Disamping hal-hal yang telah diterangkan di sini,masih ada beberapa masalah yang dikecualikan, hal mana tersebut  di dalam kitab-kitab yang panjang pembicaraannya. Tetapi sebagian beberapa masalah  tersebut, telah lewat diterangkan pada kitab tentang Thoharoh (Bersuci).


Semua binatang itu hukumnya suci, kecuali anjing dan celeng (babi) dan binatang yang dilahirkan dari kedua binatang yang najis tersebut, atau dilahirkan dari salah satu binatang yang najis tersebut (setelah bersetubuh) dengan binatang yang suci. Pernyataan mushonnif itu berarti membenarkan (Memberi legitimasi) kepada hal sucinya binatang sindat (semacam ulat yang kecil sekali) yang keluar (tumbuh) dari benda (binatang) yang najis. Dan binatang sindat tersebut, hukumnya juga suci.


Semua bangkai itu hukumnya najis kecuali bangkai ikan (laut) dan belalang serta bangkai anak Adam (manusia). Pada sebagian redaksi  kitab lain,menggunakan kata-kata "Ibnu Adam" bukan "Al-Adamiyyi", jadi maksudnya setiap bangkai ikan , belalang, dan manusia masing-masing hukumnya suci. Dan sebuah wadah harus dicuci (sampai bersih) karena terjilat oleh anjing dan celeng, pencucian itu dilakukan sebanyak tujuh kali dengan menggunakan air suci, hal mana dari salah satu dari tujuh kali itu harus disertai dengan debu suci yang bisa merata ke tempat yang terkena najis. Maka jika benda terkena najis anjing dan celeng sebagaimana yang tersebut diatas, dicuci di dalam air yang mengalir lagi keruh, maka dengan mengalirnya air tersebut sebanyak tujuh kali sudah cukup (Dianggap sah, sebagai cara) untuk mencuci benda yang terkena najis, tanpa harus disertai dengan debu.


Adapun apabila keadaan najis yang berasal dari anjing itu tidak bisa hilang melainkan harus dicuci terlebih dahulu sebanyak enam kali umpamanya, maka semua pembasuhan yang sebanyak enam kali tersebut, dihitung sama dengan satu kali basuhan. Sedang tanah yang berdebu (ketika tanah yang terkena najis anjing), Maka tidak wajib menggunakan debu  dalam (mensucikan) tanah tersebut ; demikian itu menurut pendapat yang lebih shohih. Dan untuk najis-najis yang lain, (tidak najis yang berat dan tidak najis yang ringan), cukup dibasuh satu kali saja sampai sekiranya warna dan baunya sudah bisa hilang. Pada sebagian redaksi kitab lain, ada keterangan : "Dibasuh satu kali saja sampai merata pada benda yang terkena najis".


Adapun benda yang terkena najis yang selain najisanjing dan najis yang ringan tersebut, dengan dibasuh sebanyak tiga kali itu adalah lebih baik.


Katahuilah !!! bahwa air bekas digunakan membasuh benda tang terkena najis setelah tempat yang dibasuh itu suci, maka air bekas tersebut hukumnya suci, jika air bekas tersebut setelah pisah (dengan tempat yang dibasuh) tidak berubah. Disamping tidak berubah dan juga tidak bertambah-tambahnya (kadar bobotnya) setelah terpisahnya air bekas tersebut dengan tempat yang terkena najis, (tidak tambah) dari keadaan kadar bobot semula, sehabis memperhitungkan kadar air yang diserap oleh benda yang dibasuh dengan air tersebut.

Demikian itu apabila air tersebut belum mencapai dua kulah. sedangkan apabila air tersebut sudah mencapai dua kulah, maka syaratnya adalah harus tidak berubah.


Baca juga : PERISTIWA LUAR BIASA MENJELANG KELAHIRAN NABI MUHAMMAD SAW


Tatkala mushonnif telah selesai membicarakan tentang hal-hal yang bisa suci sebab dibasuh, maka beliau susul memulai membicarakan tentang hal-hal yang bisa menjadi suci sebab berubah keadaannya. (Yang dimaksud dengan berubah keadaannya0 ialah beralihnya sesuatu dari satu sifat (keadaan) ke sifat yang lain. Maka beliau pun berkata : "Ketika arak telah berubah menjadi cukak, yang dimaksus dengan arak ialah benda yang diperoleh (dibikin) dari air anggur baik keadaan arak itu terhormat (benda itu tidak sengaja dibuat arak) atau tidak terhormat (benda itu sudah sengaja dibikin minuman arak), hal mana telah berubah menjadi cukak, sedang proses perubahan itu dengan sendirinya, maka hukum arak tersebut adalah suci.


Demikian pula apabila arak telah berubah menjadi cukak sebab pindahnya dari tempat yang panas ke tempat yang teduh dan sebaliknya. Adapun jika arak tersebut berubah menjadi cukak itu bukan karena berubah dengan sendirinya, tetapi arak itu berubah sebab kemasukan suatu benda ke dalam larutan arak tersebut, Maka arak itu hukumnya tidak suci. Dan ketika arak itu menjadi suci, maka suci pula tempatnya (wadah arak), sebab ia hukumnya mengikuti pada arak itu sendiri.


Semoga bermanfaat ya...